My journey with CI - Part 01
Dunia saya tiba-tiba menjadi sunyi tanpa suara…..
Berawal terjadi sejak saya dan kakak, Nadine Zamira Sjarief dibawa orang tua pindah ke kota Fort Collins, Colorado, Amerika Serikat sejak tahun 1990. Pada saat itu saya berusia 2 tahun. Kami pindah karena ayah, Roestam Sjarief yang menjalani program S3 di sana.
Tiba-tiba suhu badan saya panas, ayah dan ibu saya Karen Tambajong tentunya sangat mengkhawatirkan kondisi saya mengalami demam tinggi yang tidak turun-turun. Akhirnya saya langsung dibawa ke dokter, ternyata dokter mengatakan bahwa saya hanya “ Flu” biasa. Ibu saya sangat menyakinkan bahwa ada sesuatu tidak beres pada saya.
Begitu melihat hasil pemeriksaan darah, dokter itu langsung menghubungi keluarga bahwa saya harus segera dibawa ke rumah sakit. Ternyata saya terkena penyakit Meningitis yaitu penyakit yang menyerang radang selaput otak. Seluruh keluarga saya tentu saja kaget mendengar penyakit langka itu. Penyakit itu sangat mematikan, bisa menyebabkan meninggal atau cacat seumur hidup. Saya telah kehilangan sadar, mengalami koma lebih dari seminggu. Hanya mujikzat Tuhan yang membuat saya hidup. Kesembuhan dari serangan meningitis merupakan Mujikzat, namun keluarga saya harus menerima ikhlas bahwa saya menjadi tuna rungu…. Saat saya terbangun dari koma, hanya yang pertama saya rasakan betapa sakitnya kepala terasa berat. Ibu saya berkali-kali memanggil saya, tetapi saya tidak merespon langsung. Entah kenapa saya tidak bisa mendengar suara ibu.
Kemudian dicek kembali dokter, tiba-tiba ia memecahkan vas dari belakang saya untuk memastikan apakah saya mendengar. Tidak…. saya tidak mendengar maupun merespon suara pecahan vas. Dokter itu hanya menangis dan sangat menyesali mengatakan hanya “Flu” pada waktu itu.
Setelah dirawat di rumah sakit, saya diperbolehkan pulang ke rumah. Tetapi tidak berarti kondisi saya sudah normal. Saya sudah kehilangan keseimbangan tubuh, sulit berjalan kaki dengan baik. Lagu-lagu yang dulu saya senang nyanyi lancarTwinkle-twinkle little star, malah menjadi kata-kata yang makin lama makin jauh dari pengucapan yang benar. Saya frustasi, lebih banyak teriak-teriak karena saya tidak tahu apa yang saya bisa ucapkan. Penyakit itulah yang membuat saya kehilangan pendengaran. Kemampuan bahasa saya menjadi menghilang. Padahal di usia 2 tahun, saya baru mulai mengembangkan bahasa dan menyerap banyak informasi. Namun saya harus mengulang lagi dari nol menjadi “bayi” lagi.
Dunia saya menjadi sunyi…….. Tidak ada suara satupun. Itulah penyakit meningits yang merenggut keceriaan saya pada saat itu
Orang tua saya nyaris putus asa, bagaimana cara saya bisa berkomunikasi nantinya? Ibu saya mencurahkan seluruh tenaga dan waktu untuk mencari informasi. Ternyata ibu mendapatkan informasi bahwa ada teknologi canggih membuat tuna rungu bisa mendengar canggih. Namanya Cochlear Implant, yaitu pencangkokan koklea / rumah siput. Pencangkokan ini merupakan penemuan baru pada saat itu. Teknologi canggih ini mahalnya luar biasa, dulu tahun 1990-an harga sekitar 40.000 dolar di Amerika (kalau sekarang sekitar 200 juta rupiah). Darimana bisa mendapat uang sebanyak itu.
Akhirnya keluarga saya memutuskan mendapatkan uang dengan beberapa cara. Menjual tanah, meminjam uang dari keluarga di Indonesia. Kemudian mendapat kerjasama dengan pihak di Amerika untuk bersedia mengadakan acara untuk pengumpulan dana berupa pertujnjukan kesenian Indonesia. Hal itu sangat luar biasa karena banyak yang mau membantu mendanai demi masa depan saya cerah.
Barulah tahun 1992, di usia 4 tahun saya menjalani operasi pencangkokan koklea. Operasi yang dilakukan adalah memasang implant internal di tulang kepala belakang. Bentuknya bulat panjang transparent, kemudian disambungkan dengan semacam ekor yang merupakan rangkaian elektroda dan dimasukan ke dalam koklea saya yang asli.
Sekitar 1 bulan setelah operasi penanaman yang berhasil baik, telinga saya dipasangkan alat luar yang bernama Prosesor suara. Setelah memakai cochlear implant, tidak berarti saya langsung mengenali suara. Dengan bantuan teknologi canggih ini tidak berarti saya bisa mendengar sempurna. Saya harus mengulangi dari nol, kembali belajar mendengar dan berbicara melalu terapi AVT. Hal itu tidak mudah! Saya harus menirukan kalimat-kalimat lagi, walaupun belum benar. Orang tua saya memiliki kesabaran yang luar biasa untuk melatih saya bicara dengan benar. Paling sulit saya harus mengingat nama-nama benda, memahami setiap kata.
Orang tua sadar bahwa saya harus kembali ke indonesia untuk belajar dan mendengar dengan bahasa Indonesia karena kami orang Indonesia bahasa keseharian kami bicara adalah bahasa Indonesia. Ayah saya tetap melanjutkan pendidikan S3. Ibu, saya, dan kakak kembali ke Indonesia. Disitulah di tanah air, usia 4 tahun saya memulai perjuangan besar supaya bisa mendengar dan bicara dengan cochlear implant.